Sejarah Diaspora Global Aceh



Sejarah Diaspora Global Aceh

Diaspora berasal dari kata Yunani  “diaspeiro”  yang artinya penyebaran. Diaspora adalah para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya, siapapun orangnya dan dari manapun asal daerah dan negaranya. Istilah diaspora sendiri sudah dikenal di abad ke 5 SM. Meskipun kepentingan ataupun latar belakang diaspora berbeda-beda, namun ada satu kesamaan, yaitu mereka masih tetap terhubung – memiliki ikatan kuat - dengan tempat asal leluhurnya. Karena itu diaspora memiliki peran penting dalam memajukan daerah/negara asal mereka. Banyak contoh, misalnya, bagaimana besarnya peranan diaspora dalam konstelasi masyarakat Yahudi, Cina dan India.

 

Masyarakat Aceh, sebenarnya telah ditakdirkan sebagai salah satu etnis perantau. Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 700-an, terutama para ilmuwan Aceh sudah sangat terbiasa berkelana menimba ilmu di berbagai belahan dunia. Melanjutkan pendidikan lanjutan mereka ke berbagai perguruan terkemuka di luar negeri. Bahkan untuk menunjang keperluan tersebut, juga telah dipersiapkan fasilitas pelatihan berbahasa asing secara baik.

 

Untuk kawasan Pidie saja misalnya, antara lain tercatat di Keuniree, Garot, Meureudu, dan lain-lain pernah tersedia fasilitas pusat pelatihan bahasa asing ini. Ketika itu, bahasa yang digunakan sebagai media pengajaran dan penulisan antara lain bahasa Arab, Turki, Portugis, China, dan Urdu. Dari kultur berbasis pembelajar dan perantau inilah muncul para ahli klasik dari kalangan orang Aceh di berbagai bidang keilmuan pada masanya, antara lain tercatat Tgk. Chik Dipasi, Tgk. Chik Direubee, Tgk. Syech Abd. Rauf, Tgk. Syech Nurudin Ar-raniri, Tgk. Chik Pantee Kulu, Tgk Chik Pantee  Geulima, dan lain-lain. Malah sebagian dari mereka menghasilkan karya tulis monumentalnya dalam perjalanan di atas kapal ketika melayari samudera luas.

 

Kini para perantau Aceh telah tersebar luas di berbagai penjuru. Di samping terkait “keterpanggilan nurani” bagi sebagian kelompok berpendidikan, gejolak sosial, politik dan ekonomi di Aceh telah ikut meramaikan migrasi besar-besaran ini pada hampir semua strata dari piramida kependudukan masyarakat Aceh. Para Diaspora Aceh membentuk komunitas sendiri di berbagai negara, dan cenderung tidak saling terkoneksi satu sama lain. Sangat banyak dari mereka telah berhasil berperan dominan di lingkungan barunya masing-masing. Namun, sebagai konsekuensi jarak geografis, mereka juga menjadi terasing dengan akar rumput keAcehan, atau bahkan juga dengan keIndonesiaan. Keterasingan ini menjadi kendala dalam berinteraksi dan membangun sinergi guna berkontribusi bagi kepentingan bersama yang lebih luas. Untuk mengatasi kendala berinteraksi di antara para perantau Aceh yang semakin meluas ketersebarannya, sangat diperlukan sebuah metode pengorganisasian tersendiri.

 

Dari dasar pertimbangan tersebut muncul gagasan untuk membentuk organisasi Diaspora Global Aceh, yang selanjutnya disebut DGA. Dimaksudkan dapat mengambil peran sebagai wadah pemersatu masyarakat Aceh sedunia yang berdomisili di luar Provinsi Aceh. Para Diaspora ini perlu dikelola kebersamaannya agar secara kolektif dapat ikut berkontribusi membangun, mengembangkan dan mempromosikan nilai-nilai ke-Aceh-an, keIndonesiaan dan kemanusiaan pada tataran strategis. Dalam kerangka mencita-citakan Aceh yang lebih sejahtera, Indonesia yang lebih baik, kemanusiaan yang lebih bermartabat, dan kerjasama regional maupun internasional.

 

Diperkirakan, para perantau Aceh yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sangat besar, dengan berbagai kualifikasi expertise kelas dunia. Melalui DGA diharapkan mereka dapat berkontribusi dalam pembangunan Aceh. Mereka yang tinggal di berbagai negara dan bergerak dalam bidang bisnis dapat membuka akses investasi langsung (foreign direct investment) ke Aceh, sesuai dengan potensi yang ada di Aceh. Sementara bagi Diaspora yang yang berkecimpung di berbagai profesi dan keahlian bisa memberikan kontribusi terhadap pengembangan sesuaia bidangnya untuk Aceh.

 

Diaspora Aceh dapat membangun network dengan berbagai institusi dan agensi untuk pembangunan Aceh Baru, termasuk untuk pengembangan investasi, eksplorasi sumber daya alam di Aceh, membangun sistem pendidikan yang berbasis character building yang islami dimulai dari anak usia dini.

 

Diaspora Global Aceh memandang dunia dengan konstruktif. Sebab, sepanjang sejarah yang bisa dicatat, masyarakat Aceh telah menjadi bagian dari masyarakat dunia dalam keadaan suka dan duka. Derap sejarah yang mengaitkan Aceh dan komunitas dunia inilah yang mendorong Diaspora Global Aceh membuka diri secara konstan bekerjasama dengan berbagai aktor global dalam kerja sama memperkokoh kedaulatan Indonesia, kemanusiaan, pembangunan ekonomi dan kebudayaan serta perdamaian. Keterbukaan kerjasama dengan aktor-aktor Internasional ini diharapkan dapat menjadi panggung atas nama Aceh dan menjadi peluang besar menciptakan model dalam menangnai aneka ragam permasalahan sosial, dan sebagainya.

 

Gagasan awal pembentukan organisasi Diaspora Global Aceh (DGA) ini bermula dari acara ‘Halal bi Halal dan Dialog Diaspora Aceh’ yang diselenggarakan oleh PP-TIM pada hari Ahad 13 Juni 2021. Dari momen silaturahim itu, menggugah kesadaran baru, mengenai keberadaan orang Aceh yang sudah menyebar di hampir ban sigom donya. Dengan aneka profesi dan potensi yang reputasinya terakui publik, yang mampu bersaing dengan berbagai kelompok masyarakat lainnya di banyak negara.

 

Beranjak dari kesadaran tersebut, diputuskan perlunya pembentukan sebuah organisasi baru, guna menghimpun keseluruhan para diaspora Aceh. Wadah ini selanjutnya dinamakan Diaspora Global Aceh (DGA). Dengan demikian, para diaspora dimaksud secara kolektif dapat ikut berkontribusi membangun, mengembangkan dan mempromosikan nilai-nilai keAcehan, keIndonesiaan dan kemanusiaan pada tataran strategis. Dalam kerangka mencita-citakan Aceh yang lebih sejahtera, Indonesia yang lebih baik, kemanusiaan yang lebih bermartabat, dan kerjasama regional maupun internasional.

 

Berdasarkan pemikiran itulah, sesuai dengan Akte Notaris Saifullah SH, No.: 01, tanggal 2 November 2021, DGA didirikan pada tanggal 22 Agustus 2021, bertempat di Gedung Menara Batavia, lt 17, dengan pendirinya tercatat terdiri dari Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si, Said Mustafa, T. Anwar Djohansyah, Dr. Ir. Surya Darma Zainal Abidin, MBA, dan Dr. Sofyan A. Djalil.

 

Langkah selanjutnya, dirumuskanlah Statuta sebagai sumber pedoman dasar dan panduan dalam menyelenggarakan kegiatan berorganisasi. Juga Garis Besar Kebijakan Organisasi (GBKO), yang merupakan panduan kebijakan dan arahan bagi Dewan Pengurus dalam menyusun dan melaksanakan Program Kerjanya.

 

Guna memenuhi ketentuan formal dalam berorganisasi, Akta Pendirian dan Statuta DGA yang telah dilegalisir berdasarkan Akta Notaris Saifullah, SH tersebut juga telah disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor AHU-0014326.AH.01.07.TAHUN 2021 tanggal 14 Desember 2021. Dengan demikian keberadaan DGA menjadi sah secara hukum, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Selanjutnya Statuta DGA Pasal 12 mengatur bahwa Struktur kepengurusan DGA terdiri dari Kepengurusan Pengurus Pusat dan Pengurus Chapter (=Sagoë); sementara Pasal 16 menyebutkan, Chapter dibentuk berdasarkan wilayah teritorial sebuah negara atau lebih yang berada di luar juridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, guna melengkapi struktur kepengurusan tersebut, sejak terbentuknya organisasi ini, proses sosialisasi keberadaannya terus digaungkan kepada semua pihak. Terutama kepada para diaspora Aceh yang berada di luar negeri, dengan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari DGA.

 

Setelah melalui diskusi panjang dengan para diaspora Aceh dari banyak negara, dan mendalami Statuta - GBKO, serta dimusyawarahkan secara intensif di kalangan mereka, sampai sekarang sudaah terbentuk 17 Chapter dengan kepengurusannya masing-maasing. Mereka tersebar dari 5 benua: Asia, Afrika, Amerika, Australia dan Eropah; semuanya sudah disahkan melalui SK Dewan Pengurus Pusat DGA.

 

Dengan demikian, DGA kini sudah memenuhi kualifikasi legal dengan memiliki Statuta yang mendapatkan pengesahan dari MenkumHam; dan juga memenuhi kualifikasi fungsional, dengan dilengkapinya kepengurusan Pengurus Pusat beserta jaringan kepengurusan 17 Chapter dari 5 benua, serta perangkat kesekretariatan yang sudah berfungsi secara proper.