Daya Tangkap Sosial-Budaya Aceh

Daya Tangkap Sosial-Budaya Aceh

Daya Tangkap Sosial-Budaya Aceh

Oleh Fachry Ali [Penerima Penghargaan Ahmad Bakrie dalam Pemikiran Sosial 2023 dan Penasehat Menteri PPN/Ketua Bappenas]. Disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Aceh, Jantho, Aceh Besar, 6-8 Mei 2024

Bak meurak di cȏng, bak meurȍng cot

Bungong Jeumpa got kalheuh lon tanda

Setia payah lon tambak leuhob

Bak neuheun lon lob gob jareng kadra

H’an e’k lon preh le wahai cut abang

Adak jeut beurujang geutanyou dua

Abeh buleun tohn pih meuganto

Janji cutbang wo hana troih teuka

Lagu yang tertera di atas diperkenalkan kepada saya oleh pelukis Yusrizal Ibrahim pada pertengahan 1990-an di Jakarta. Karena mengambil latar belakang alam sebagai tamsil (bungong, leuhob, kadra), saya berspekulasi bahwa secara sosiologis, lagu ini tumbuh dalam buaian agraris. Karena itu, andai bukan berasal dari seudati, setidak-tidaknya narasi tarian tradisional Aceh ini telah mengambil pengaruhnya di dalam struktur ide lagu itu. Lagu, yang tak saya ketahui judulnya ini, dengan demikian, adalah refleksi cita rasa “transisional” antara ungkapan alam agraris-tradisional dan modern.

Pertanyaannya, bagaimana konteks “transisional” ini harus kita dekati?

Di sini, jika kita ingin menjawabnya, terlihat dua hal simetris yang berlangsung sekaligus: media radio dan substansi lagu itu sendiri. Yang pertama, radio. Yusrizal Ibrahim mengatakan kepada saya bahwa lagu tersebut terpekenalkan kepadanya melalui radio. Ini penting ditekankan karena proses desiminasi lagu tersebut bukan saja telah menggunakan media modern, melainkan juga sekaligus mengandung imparsialitas relasi sosial. Rumusan terakhir ini diilhami frasa Benedict R’O G Anderson dalam menandai shifting (peralihan) sebuah zaman apa yang disebutnya dengan print capitalism (kapitalisme percetakan).

Di dalam bukunya yang terkenal, Imagined Community, Anderson menyatakan bahwa kehadiran print capitalism itu bukan saja menandai terciptanya sebuah mekanisme pasar yang menstrukturkan relasi sosial menjadi lebih induvidualistik, melainkan menghancurkan struktur hierarchic and dyadic communication (komunikasi dua arah bersifat atas-bawah)) yang sebelumnya berlaku di dalam masyarakat agraris-tradisional dan feodal. Wujud kongkret print capitalism itu adalah kehadiran buku dalam jumlah massif yang membuat informasi dan pengetahuan tak lagi hanya datang dari penguasa tradisional kepada rakyat kebanyakan. Melainkan, dengan kehadiran buku, sumber informasi dan pengetahuan itu menjadi lebih majemuk yang ─sebagai konsekuensi strukturalnya─ pada akhirnya melemahkan kedigdayaan penguasa tradisional di hadapan rakyatnya.

Maka, jika hanya dengan buku struktur hierarchic and dydic communication tradisional bisa runtuh, apatah lagi dengan radio. Lepas dari soal kedalamannya, dibandingkan dengan buku, radio berkemampuan mendesiminasikan informasi dengan kecepatan berkali lipat. Ini terjadi karena informasi dan pengetahuan yang terdesiminasikan berlangsung melalui suara. Berbeda dengan buku yang memerlukan kecakapan membaca, sepanjang mempunyai pendengaran, desiminasi informasi dan pengetahuan melalui radio bisa mencapai siapa saja. Efek pluralisme dan egalitarianisme hubungan-hubungan sosial melalui radio, dengan demikian, jauh lebih massif dibandingkan dengan buku.

Jadi, betapapun terbalut dengan kiasan agraris-tradisional, lagu Aceh yang, sekali lagi, tak saya ketahui judulnya itu, terdesiminasi melalui media modern, yaitu radio. Di sini, secara “terselubung”, tertangkap pesan adanya shifting (peralihan) diam-diam antara yang “lama” dengan yang “baru”. Melalui efek massif radio itu, sistem relasi sosial masyarakat Aceh, sebagaimana masyarakat lainnya, tanpa disadari bergerak ketahap selanjutnya, di mana sumber fantasi dan ekspresi dari fantasi tersebut turut bergeser.

Pergeseran sumber fantasi dan ekspresi sumber fantasi tersebut terlihat pada hal kedua: sifat dari lagu di atas. Bagaimana ini dijelaskan? Tentu saja, saya tak bisa mengandalkan kedangkalan pengetahuan saya tentang sejarah pemikiran dan budaya Aceh untuk memberikan penjelasan memadai tentang pokok materi ini. Akan tetapi, kedangkalan pengetahuan itu terkadang ada “guna”-nya. Setidaknya-tidaknya, terutama karena “tepaksa”, seseorang menjadi nekad menggunakan bahan pengetahuan yang minim itu menyajikan breakthrough explaination tentang sesuatu dengan ambisi memberikan enlightenment (pencerahan). Dan, kenekadan inilah yang saya lakukan ─dalam menjelaskan latar belakang tentang mengapa sifat dan juga substansi lagu itu menggambarkan sebuah shifting sumber fantasi dari yang sebelumnya.

Oleh sebuah ─menggunakan frasa sejarawan Taufik Abdullah─ “kecelakaan sejarah”, jalan pembentukan sumber dan sruktur fantasi Aceh menjadi sangat spesifik. Yaitu, dalam bentuk ringkasnya, ditandai oleh kemunculan apa yang saya sebut sebagai the Acehnized Islam. Frasa yang pernah saya tampilkan dalam tesis “The Revolts of the Nation-State Builders” di Monash University, Clayton, Melbourne, Australia pada 1994, ini mengandung arti bahwa pada titik perjalanan tertentu di akhir abad ke-19, dalam melawan Belanda, pejuang Aceh “terpaksa” menjadikan Islam sebagai ideological weapon (senjata ideologi) ketika senjata dalam bentuk fisik “melemah” atau tak lagi bisa diandalkan. Hasilnya adalah Hikayat Prang Sabie yang diciptakan Teungku Cik Pantee Kulu. Memberikan parafrasa uraian sejarawan Ibrahim Alfian, Hikayat Prang Sabie tersebut adalah rumusan ekspresif pandangan keagamaan dalam format dendangan yang memberikan pembenaran atas pertumpahan darah demi mempertahankan kehormatan dan kesucian. Atau, seperti dinyatakan James T. Siegel, dengan mengutip al-Qur’an Surah IX:122, untuk mencapai the mighty triumph (kemenangan besar) ─sebagaimana terlihat dalam buku klasiknya tentang Aceh, The Rope of God.

Daya penetrasi dendangan keagamaan ini ke dalam struktur emosi rakyat telah membuat Hikayat Prang Sabie tertransformasi menjadi the real weapon war (senjata perang riil), ketika rakyat terdorong bukan saja melanjutkan perjuangan, melainkan juga menghayati kematian sebagai sebuah panggilan menggairahkan. Prang Sabilillah/ Mujahidin prang teuntra agama Meunyou syahid dalam prang sabil/ Allah Tuhan bri ‘Ainun Mardliyah Saya tidak tahu, apakah dendangan ini merupakan penggalan dari Hikayat Prang Sabie di atas. Akan tetapi, dendangan yang saya hapal sejak kecil di Aceh pada 1960-an ini menyiratkan semangat the Acehnized Islam yang telah disebutkan.

Dalam arti kata lain, Islam yang telah mengalami “peng-Aceh-an” atau the Acehnized Islam ini secara langsung atau tidak menjadi sumber fantasi pengungkapan diri masyarakat Aceh hampir secara tunggal dalam berkesenian. Di sini, berkesenian bukan demi seni itu sendiri. Mungkin, walau tafsir ini bisa dianggap bersifat post factum, dapat dikatakan bahwa dalam situasi intensitas pengaruh the Acehnized Islam ini sebagai substitusi the weapon of the war, kecenderungan berkesenian demi seni itu sendiri telah dianggap sebuah kemewahan. Ekspresi kesenian, dengan demikian, bersifat purposive atau bertujuan. Inilah mungkin yang menjelaskan mengapa the purposive warbling (dendang bertujuan) ini juga diperuntukkan kepada kanak-kanak ─bahkan di dalam usia ayunan: Do kudaidang/Jeh geulayang ka putoh taloe Beureujang rayeuk hai Banta Seudang/ Ta jak tulong prang, jak bela nanggroe Setidak-tidaknya, sampai di sini, kita melihat bahwa melalui “kecelakaan sejarah” di atas, sumber fantasi untuk berekspresi mengerucut kepada apa yang telah disebut sebagai the Acehnized Islam. Sebuah sumber fantasi bersifat atau berdaya mobilisasi dengan tingkat disiplin yang tinggi untuk mencapai tujuan tertentu. Di sini, di dalam ekspresi berkesenian dalam struktur fantasi ini, perang, kematian dan kepahlawanan dijalin menjadi satu.

Jika diperhitungkan bahwa titi mangsa genre ini dimulai pada akhir abad ke-19 dengan lahirnya Prang Sabie karya Teungku Cik Pantee Kulu, maka setidak-tidaknya kecenderungan ini bertahan selama, kurang lebih, setengah abad. Sebab, selama Revolusi Kemerdekaan 1945-50, ekspresi dari fantasi jenis ini masih terditeksi dan, ini penting, tetap terjaga dengan disiplin mencapai tujuan yang yang tak menurun: Beudoh syèdara para pahlawan/Riwang bak prang bèk lalee le Sulèng, tambo seureuta geunderang/Deumpeu angkatan bak ta peuhasè Hai adèk cutbang, bèntara-bèntara/Syèdara bèk ta duek le Nyawong tuboh ngon hareuta/tajok sigra laju tabri Atè beuteutap beu sunggoh-sunggoh/Surak beurioh hai pahlawan Dum geutanyoe pahlawan gagah/Ta manoe darah cit bak masa prang Lagu yang diajarkan ayah ketika saya kecil ini mengungkapkan ekspresi kecondongan akan perang para pemuda revolusioner di masa 1945-50 yang, seperti dipaparkan dalam buku Semangat Merdeka karya Ali Hasjmy, mengelompokkan diri di dalam berbagai organisasi.

Akan tetapi, di atas semua itu, lagu terakhir ini memperlihatkan bahwa sumber fantasi yang tereproduksi di dalamnya tetap berakar pada apa yang telah saya sebut sebagai the Acehnized Islam. Sebuah genre yang menekankan the purposive warbling dan menolak sikap seni untuk seni, apa lagi seni untuk meu ususenda (bergurau). Dalam perspektif kesejarahan tipikal inilah kita melihat isi dari substansi lagu pertama di atas, yaitu, untuk sekedar memberi nama, “Bak Meurak di Cȏng”. Seperti terungkap di dalamnya, lagu ini mendemonstrasikan diviasi atau “penyimpangan” dari genre sebelumnya di bawah pengaruh the Acehnized Islam ─dalam pengertian yang telah diungkapkan di atas.

Sebab, yang diungkapkan “Bak Meurak di Cȏng” ini adalah kisah seorang pemuda yang berusaha mati-matian memupuk cinta (setia payah lon tambak leuhop) terhadap seorang gadis cantik (bungong jeumpa got), tetapi berakhir tragis karena sang pujaan diambil lelaki lain (bak neuheun lon lob gob jareng kadra). Dan dalam bait selanjutnya, juga dikisahkan cinta mendalam seorang perempuan kepada seorang laki-laki, hingga ia tak sabar menunggu langkah ke pelaminan (han ‘ek lon preh lè wahai cut abang/adak beureujang geutanyou dua). Akan tetapi, seperti nasib laki-laki di atas, sang perempuan itu harus juga menunggu tanpa akhir, karena kekasih tak pernah datang kepadanya (Habèh buleun tohn pih meuganto/Janji cutbang wo hana troh teuka). Maka, dengan lahirnya lagu bertema percintaan ini kita melihat sebuah shifting atau peralihan yang berlangsung secara simetris dari kombinasi radio dan substansi lagu tersebut. Bertelekan pada frasa imagined community Benedict Anderson di atas, intensifikasi penggunaan radio sebagai alat desiminasi informasi dan pengetahuan menandai kian kuatnya kinerja masyarakat pasar di atas mana hubungan sosial bersifat individualisme mulai memperlihatkan pengaruhnya.

Di sini, lagu-lagu derivatif the Acehnized Islam tak lagi memonopoli struktur fantasi masyarakat Aceh. Pada saat yang sama, di atas struktur relasi sosial yang kian bersifat individualisme, lagu “Bak Meurak di Cȏng”, seperti juga lagu-lagu percintaan lainnya, “Di Babah Pinto”, antara lain, yang menekankan tema percintaan, mulai menemukan panggungnya. Dengan menyatakan ini, saya sesungguhnya sedang berhadapan dengan risiko historical anachronism ─menempatkan “fakta sejarah” pada tahap yang keliru. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini adalah “sejarah daya tanggap” masyarakat Aceh terhadap daya sosial-budaya dan pemikiran yang dipantulkan dari dalam maupun luar. Sampai di sini, saya dan mungkin kita semua, terpancing untuk bertanya dengan sikap heroik: Apakah masyarakat Aceh akan memilih menjadi “aktor” bagi dirinya atau menjadi “epigon” pihak luar? Kendatipun demikian, rumusan pertanyaan bersifat heroik tersebut tak perlu dipermasalahkan betul, terutama karena pendekatan yang saya gunakan hanya mengikuti alur cerita tentang bagaimana lagu “Bak Meurak di Cȏng” di atas tampil ke depan. Di sini, saya harus kembali kepada informasi Yusrizal Ibrahim. Menurut lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), perguruan tinggi seni yang sebelumnya bernama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta ─dan pernah mengajar mata kuliah Hadih Maja di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), Jantho, Aceh─ ini, lagu tersebut kerap didengar melalui pancaran radio di Banda Aceh pada 1970-an.

Dengan ini, kita menemukan clue (petunjuk) tentang posisi sosial-budaya Aceh dalam kaitannya dengan “dunia luar” dan the declining (memudarnya) “dunia dalam”. Apa yang maksud dengan “dunia luar” adalah daya-daya yang dipantulkan Jakarta di dalam periode itu, sementara “dunia dalam” adalah fantasi yang direproduksi the Acehnized Islam dalam pengertian yang telah dijelaskan di atas. Bertelekan pada clue ini, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengaruh “dunia luar” sedang memantulkan daya kuatnya ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Aceh. Ini terjadi, karena Jakarta telah berada di bawah kontrol apa yang bisa kita sebut sebagai the modernizing agent (aktor modernisasi). Karena berbeda secara diametral dari sifat revolusioner “penguasa” Jakarta sebelumnya, kehadiran the modernizing agent ini secara sosial-budaya menimbulkan daya pukau tersendiri. Untuk pertama kalinya, sepanjang 1959 hingga 1966, Jakarta melakukan liberalisasi diri dengan menerima berbagai pengaruh Barat tanpa sensor yang berarti.

Daya pukau bersifat simbolis ini diperteguh atau diperkuat, melalui open door policy (kebijakan pintu terbuka), oleh kehadiran modal secara massif ─yang tak pernah terjadi sebelumnya. Maka, walau tetap menjadi penganut, secara tidak langsung, pandangan ekonom Inggris terkenal John Maynard Keynes yang mentoleransi negara turut campur dalam perekonomian, kelahiran masyarakat pasar mengalami akselarisasi. Yang terakhir ini penting dicatat, karena sebelumnya, walau gagal, ada usaha negara membendung berkecambahnya masyarakat pasar dengan program “sosialisme”. Maka, bibit individualisme yang disponsori negara dan kaum intelektual bebas di masa Demokrasi Parlementer (1945-59), kembali tumbuh dalam wujud yang lebih signifikan pada 1970-an itu. Hasilnya secara sosial-budaya adalah runtuhnya rantai pengikat atau pengontrol fantasi yang berkinerja sepanjang 1959-66 secara ideologis atas sponsor negara berdasarkan sosialisme.

Sebagai gantinya, berkecambah ekspresi fantasi borjuasi di dalam berkesenian yang membanjiri dunia film, sastra (termasuk teater) dan relasi-relasi sosial lainnya. Sebagai antitesa ekspresi berkesenian yang didasarkan pada tuntutan ideologi sebelumnya, maka yang kini berkembang adalah seni untuk seni. Logika yang dikembangkan adalah ideologi atau pandangan politik tidak mempunyai hak atas seni dan ekspresinya. Jika toh “pemihakan” harus dipilih, maka itu dilakukan atas dasar pilihan yang independen, bukan ditentukan oleh keharusan ideologis. Otonomi individual dalam relasi sosial yang distrukturkan mekanisme pasar dilihat sebagai sebagai asas utama dalam pengungkapan diri. Dasar pamungkas yang menjadi daya kuat pembalikan arah ini adalah gagasan teknokratisme yang ditunjang oleh ekspansi modal yang hadir dalam jumlah tak berpreseden.

Di sini, negara, sebagaimana dipostulasikan Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital, telah tampil, dalam frasa saya, sebagai wealth creator (pencipta kekayaan) ─melalui proses rekayasa teknokratisme. Dengan demikian, perkecambahan ekspresi fantasi borjuasi ini ditunjang atau didasarkan oleh dukungan sumber daya material. Sebuah fase, dalam sejarah sosial-budaya dan relasi sosial Indonesia, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dalam bentuk kekuatan raksasa inilah Jakarta, sebagai aktor “dunia luar” memproyeksikan daya pengaruhnya ke Aceh pada 1970-an. Pada saat yang sama, daya himbau (untuk menggantikan kata “daya ikat”) kekuatan “dunia dalam” di Aceh pada periode yang sama sedang mengendor. Ini terjadi, dalam spekulasi pandangan kesejarahan saya, karena transformasi produktif the Acehnized Islam ke dalam PUSA-based society mengalami interupsi peristiwa 1953 ─gerakan Darul Islam di bawah kepemimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh. Jakarta, 1 April 2024

Salinan ini telah tayang di https://www.acehnews.id/news/daya-tangkap-sosial-budaya-aceh-1-2/index.html.