“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan
https://normalpress.id/bung-alkaf/pulitek-orang-aceh-politik-keterusterangan/
Orang Aceh melihat dunia di luarnya melalui jendela, begitu tulis Nazaruddin Sjamsuddin. Orientasi kebudayaan demikian dapat ditafsirkan sebagai cara orang Aceh melihat dirinya, sekaligus orang lain; yang disesuaikan dengan cara pandangan hidupnya. Keadaan ini sepertinya berlangsung berabad-abad, ketika sesuatu yang datang dari luar haruslah memadankan diri dengan orientasi kebudayaan orang Aceh.
Satu kali, Muhammad Razak dibuat kikuk oleh Daud Beureueh ketika ditanya apakah rombongan yang datang dari Yogyakarta melaksanakan sembahyang lima waktu dengan teratur. Kala itu, Razak bersama rombongan wartawan dari Departemen Penerangan Republik Indonesia sedang melakukan kunjungan ke Sumatra di masa-masa revolusi nasional. Aceh saat itu merupakan wilayah yang paling otonom dibandingkan daerah lain di Sumatra karena tidak berhasil dikuasai kembali oleh Belanda.
Dalam amatan Razak, Aceh daerah yang tenteram, bersih, dan aman. Sebagai wilayah awal yang berhasil menempatkan diri dalam negara baru, Aceh mencitrakan sebagai daerah yang hendak modern, sekaligus Islami. “Kami tidak melihat perempuan berada di ruang publik, kecuali yang berumur,” kenang Razak.
Amatan Razak tentang ruang publik Aceh tersebut dikejutkan dengan pertanyaan langsung, tanpa basa-basi, oleh Daud Beureueh – yang kala itu sedang menuju puncak kekuasaan politiknya.
Apa yang ditampakkan Daud Beureueh kepada Razak adalah tipikal orientasi budaya orang Aceh: keterusterangan. Hal itu yang dilakukannya tiga tahun setelah berdialog dengan Sukarno. Dalam satu suratnya kepada Sukarno, dia memberi kabar kabar kalau aparatus militer melakukan razia kepada tokoh-tokoh Aceh yang telah berjasa terhadap eksistensi Republik Indonesia di masa revolusi. Pada kesempatan itu, dia menulis tentang pusaka pikiran dan sikap orang Aceh ketika diri mereka diusik: sabar, tak menghiraukan (jijik), dan melawan.
Tidak ada basa-basi. Selalu terang benderang. Alam pikiran dan alam hidup orang Aceh memanglah demikian.
Dalam literatur politik dan kebudayaan orang Aceh, keterusterangan demikian disebabkan oleh struktur sosial. Tidak ada hijab sosial yang lalu membuat setiap orang harus menggunakan bahasa simbolik untuk menunjukkan rasa ketidaksukaan, ataupun menyusun metafora ketika menyampaikan aspirasi dan protes.
Satu kali, dalam sebuah pengamatan pribadi, Gubernur Aceh “diinterupsi” oleh jamaah setelah salat Jumat. Saat itu, sang gubernur sedang memberi penerangan mengenai proses damai Aceh di Helsinki. Celakanya, informasi yang disampaikan tidak terdengar jelas karena gubernur itu berjarak dengan pengeras suara. Suasana menjadi kikuk, sampai seorang jamaah, tanpa beban, mengatakan dengan suara keras dari tempat duduknya kalau suara gubernur tidak jelas karena tidak tertangkap oleh microphone.
Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh. Lalu, pertanyaan yang lebih teoritik, dari mana asal-usul politik keterusterangan itu?
Jawaban pertama, yang bersifat aksiomatik, adalah orientasi Islam yang dimiliki oleh orang Aceh. Agama Islam telah membebaskan orang Aceh dari penghambaan kepada sesama manusia. Tuhan, yang bagi orang Aceh, dapat langsung ditemui tanpa perantara “manusia suci” merupakan basis teologi ampuh untuk membangun basis sosial yang setara. Situasi demikian semakin menguat ketika orientasi pembaruan Islam mendapatkan momentumnya di awal abad ke-20. Pembaruan Islam, yang berjumpa dengan semangat nasionalisme, membentuk satu masyarakat Aceh yang sederajat sehingga terbangunlah satu landskap politik yang direct.
Hal tersebut ternyata pernah membuat Mr. Hardi menjadi gusar. Mr. Hardi diutus oleh Sukarno untuk memadamkan api kemarahan orang Aceh dengan melakukan pemberontakan Darul Islam.
Perhatikan, bertapa jengkelnya Mr. Hardi ketika berhadapan dengan argumen-argumen solid dari Ayah Gani saat dialog antara Dewan Repolusi Darul Islam dengan Pemerintah Pusat dalam penyelesaian Peristiwa Aceh 1953. Tanpa merasa gugup, Ayah Gani berterus terang tentang jasa Aceh untuk Indonesia, bahkan lebih jauh, dia bercerita tentang kehebatan Aceh di masa lalu, satu kisah yang selalu menjadi modal orang Aceh berhadap-hadapan dengan pihak luar.
Selain Islam, konflik bersenjata atau peperangan merupakan konstruksi politik orang Aceh. Kita akan menyebut dua pemberontakan dalam masa Indonesia merdeka, atau, mengajukan peristiwa revolusi sosial, sebagai bukti-bukti tentang keterusterangan itu. Padahal lebih jauh lagi, Tgk Chik di Tiro melakukan hal itu. Selain menolak ajakan Panglima Polem untuk menghentikan peperangan, dia mengirim surat kepada Van Swieten agar memeluk agama Islam. Jika hal tersebut disahuti, maka dia akan menghentikan untuk menggelorakan perang dengan Belanda.
Keterusterangan orang Aceh pastilah membingungkan, sekaligus menjengkelkan bagi pihak yang hendak mendominasi, baik pemerintah kolonial di masa lalu, maupun pemerintah pusat di masa sekarang. Orang Aceh selalu saja memiliki kosakata untuk mengatakan apa pun yang ada di dalam pikirannya: syariat Islam, merdeka, bansa, otonomi, referendum, partai lokal, negara, dan sejarah.
Dalam situasi kekinian, dengan perubahan kekuatan politik lokal dan pergeseran kuasa politik nasional, terkadang keterusterangan merupakan hambatan dalam berkomunikasi. Keterusterangan dapat dianggap sebagai sikap tidak sopan di hadapan budaya dominan Jawa di Jakarta yang mengenal konsepsi ewuh pakewuh. Tetapi, bukankah keterusterangan adalah jati diri orang Aceh? Jangan-jangan, karena itu pula wilayah ini terus dipandang dengan hormat. Lalu, bagaimana kalau sebaliknya?
Langsa, 4 Agustus 2024
*Disampaikan dalam Forum Ilmiah Pascasarjana IAIN Langsa pada 5 Agustus 2024.